- Back to Home »
- Akulturasi Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia
Posted by : Unknown
Sabtu, 20 Desember 2014
Akulturasi kebudayaan yaitu suatu
proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan
baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan
kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi,
masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan
Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.
1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya
merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha
dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah
unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya
adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi
Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam
bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada
relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi.
Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di
Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang
Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan
burung merpati. Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah.
Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu.
Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan
cara di lukis.
3. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia.
Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk
tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan
wiracarita (kepahlawanan).Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul
wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya,
Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya
cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari
Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit
(wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa
sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak
mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam
pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari
Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan
dengan seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh
pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti
Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India.
Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan
huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada
prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur
budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan
huruf Bali Kuno (Indonesia).
4. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah
mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau
ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara
benda-benda itu ada lukisan seorang naik perahu, ini memberikan makna
bahwa orang yang sudah meninggal rohnya akan melanjutkan perjalanan ke
tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu
sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh
halus.Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih
hidup (animisme).Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap
roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi
candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan.
Di Indonesia, disamping sebagai tempat pemujaan, candi juga
sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah
meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja
didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini jelas
merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi
pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. Bentuk bangunan
lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang
Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara
filosofis lingga dan
yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.
5. Sistem Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia,
dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang
dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu.
Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang
dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif,
dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam
bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib
(kesaktian).
Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi
raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di
Kutai. Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya
seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan gaib
seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja memiliki
kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja
kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.