- Back to Home »
- Prasasti , Sejarah Hindu-Budha »
- Prasati Kedu dan Wanua Tengan III
Posted by : Unknown
Minggu, 21 Desember 2014
Antara
prasasti Mantyasih (Kedu) dengan prasasti Wanua Tengah III memuat isi yang
intinya sama, yaitu tentang silsilah raja-raja Mataram Hindu. Walaupun berisi
tentang topik yang sama, tetapi memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan itu
terdapat pada nama-nama raja beserta jabatan dan juga prasasti Wanua Tengah III
lebih lengkap dengan adanya nama-nama raja yang tidak tercantung dalam prasasti
Mantyasih (Kedu). Selain itu dalam prasasti Wanua Tengah III juga tercantum tahun Sang Raja naik tahta dan tahun berakhirnya
kekuasaan. Kedua prasati tersebut di tulis pada zaman raja yang sama yaitu
Rakai Watukura Dyah Balitung.
A. Prasasti
Mantyasih (Kedu)
Prasasti Mantyasih merupakan prasasti yang berangka
tahun 830 Saka (907 M). Prasasti Mantyasih juga sering disebut prasasti
Balitung atau prasasti Tembaga Kedu. Prasasti yang berasal dari wangsa Sanjaya
tersebut ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah. Prasasti
ini memuat silsilah raja-raja Mataram Kuno sebelum massa kekuasaan Dyah
Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya legitimasi kekuasaan Balitung
sebagai pewaris tahta yang sah kerajaan Mataram Kuno, sehingga menyebutkan
raja-raja yang berdaulat penuh atas wilayah Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
juga menyebutkan tentang dijadikannya desa Mantyasih sebagai daerah perdikan[1],
hal ini diyakini dengan ditemukannya lumpang batu yang dianggap sebagai tempat
upacara penetapan sima atau daerah perdikan. Di dalam prasasti Mantyasih disebutkan sima kapatihan karena yang mendapat
anugrah merupakan lima orang patih yang ada di Mantyasih.[2] Kata
“Mantyasih” sendiri berarti beriman dalam cinta kasih.
B. Prasasti
Wanua Tengah
Wanua Tengah III merupakan prasasti dari tahun 908 M
pada zaman Mataram Kuno yang ditemukan pada November 1983. Prasasti ini ditemukan
di sebuah ladang di Dukuh Dunglo, Gandulan, Kaloran, sekitar 4 km arah timur
laut Kota Temanggung. Prasasti ini terdiri dari 2 lempengan tembaga. Lempeng
pertama ditulis satu sisi saja dengan 17 baris, sedangkan lemeng kedua ditulis
bolak-balik , masing-masing 26 dan 18 baris. Prasasti tersebut mengunakan huruf
dan bahasa Jawa kuno. Prasasti ini
dikeluarkan sehubungan dengan perubahan-perubahan status sawah sebagai sima di
Wanua Tengah.[3]
Prasasti Wanua Tengah III ini mengungkap silsilah raja-raja Mataram Kuno yang
lebih lengkap daripada prasasti lainnya karena mengungkap nama-nama baru.
C. Nama-nama
Raja di dalamnya.
1. Prasasti
Mantyasih
a. Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya,
b. Sri
Maharaja Rakai Panangkaran,
c. Sri
Maharaja Rakai Panunggalan,
d. Sri
Maharaja Rakai Warak,
e. Sri
Maharaja Rakai Garung,
f. Sri
Maharaja Rakai Pikatan,
g. Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi
h. Sri
Maharaja Rakai Watuhumalang,
i.
Sri Maharaja Rakai watukura Dyah
Dharmmodaya Mahasambhu.
2. Prasasti
Wanua Tengah III
a. Rakai
Panangkaran anak Rahyangta i Hara (adik Rahyangta ri Mdang) (7 Oktober 746 M -
....)
b. Rakai
Panaraban (1 April 784 M - ...)
c. Rakai
Warak Dyah Manara ( 28 Maret 803 M- ...)
d. Dyah
Gula ( 5 Agustus 827 M-24 Januari 828 M)
e. Rakai
Garung anak Sang Lumah i Tluk (24 Januari 828 – 5 Agustus 846 M)
f. Rakai
Pikatan Dyah Saladu (22- Agustus 846- 27 Mei 856 M)
g. Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala (27 Mei 856 – 5 Februari 885 M)
h. Dyah
Tagwas ( 5 Februari 885- 27 September 885 M)
i.
Rakai Panumwangan Dyah Dewandra (27
September 885- 27 Januari 886 M)[4]
j.
Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (27 Januari
886- ...)[5]
k. Rakai
Wungkalhumalang Dyah Jbang (27 September 894- 23 Mei 898 M)
l.
Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah
Balitung Sri Iswarakesawotsawattungga Rudramurti (23 Mei 898 M-...)
Sumber Referensi
Djoened,
Marwati Poesponegoro.2011. Sejarah
Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
[1] Daerah
perdikan merupakan suatu daerah yang dijadikan daerah bebas pajak. Daerah
tersebut bebas pajak karena daerah itu mempunyai kewajiban lain. Kewajiban itu
seperti harus menjaga candi, mempunyai jasa terhadap kerajaan, dan adanya
sangar belajar agama Hindu atau Budha.
[2] Marwati
Djoened P. Dkk. 2011. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Hlm. 155.
[3] Ibid.
Hlm. 149.
[4] Dalam
buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II pada hlm. 149 tertulis Rake
Panumwangan Dyah Dewandra (27 September 885- 27 Januari 887 M)
[5]
Sedangkan Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra hanya menjadi raja selama 28 hari
sebelum melarikan diri dari kratonnya.
bagus artikelnya....
BalasHapus
sangat bermanfaat
trimakasih.